Krisis di San Siro: Milan Kehilangan Dua Motor Utama
Ketika sayap dan jantung Milan terluka, performa Rossoneri langsung terguncang. Cedera yang menimpa Adrien Rabiot dan Christian Pulisic menjadi pukulan besar bagi AC Milan di tengah padatnya jadwal Serie A 2025/26. Kehilangan dua pemain kunci ini membuat keseimbangan tim asuhan Stefano Pioli terganggu, baik di lini tengah maupun sektor sayap yang selama ini menjadi kekuatan utama Milan.
Rabiot, yang baru direkrut dari Juventus musim panas lalu, menjadi salah satu pilar penting di lini tengah. Sementara Pulisic, yang tampil impresif sejak awal musim, merupakan penggerak utama di sektor sayap kanan. Ketika keduanya menepi bersamaan, Milan seperti kehilangan “jantung” dan “sayap” dalam satu waktu — dua elemen vital dalam skema permainan Pioli.
Rabiot: Kontrol, Visi, dan Tenaga yang Mengalirkan Permainan
Kedatangan Adrien Rabiot ke Milan sempat memicu perdebatan di kalangan tifosi. Namun, dalam waktu singkat, gelandang asal Prancis itu membuktikan dirinya sebagai pusat keseimbangan tim. Ia bukan sekadar pemain bertahan, tapi juga penghubung antara lini belakang dan depan, dengan visi bermain dan kemampuan membaca permainan yang tinggi.
Dalam sistem Pioli, Rabiot berperan sebagai “deep-lying playmaker” yang menyeimbangkan pressing dan distribusi bola. Ketika ia absen, Milan kehilangan koneksi alami di tengah. Sandro Tonali atau Tijjani Reijnders memang punya kemampuan menyerang, tapi tak memiliki daya jelajah dan kontrol tempo seperti Rabiot.
Akibatnya, permainan Milan menjadi lebih mudah dibaca lawan. Statistik memperlihatkan penurunan penguasaan bola rata-rata tim dari 61% menjadi hanya 49% dalam tiga laga terakhir tanpa Rabiot. Transisi dari bertahan ke menyerang pun terasa lebih lambat dan tidak efisien.
Lebih jauh, absennya Rabiot memaksa Pioli melakukan eksperimen taktik yang belum sepenuhnya berhasil. Beberapa kali, ia mencoba menurunkan Loftus-Cheek sebagai gelandang bertahan, namun pemain asal Inggris itu lebih efektif saat bermain lebih maju. Inilah yang membuat lini tengah Milan terlihat rapuh — tidak ada pemain yang benar-benar bisa menggantikan kehadiran Rabiot sebagai pengatur ritme.
Pulisic: Sayap yang Menghidupkan Serangan
Christian Pulisic telah menjadi simbol transisi baru Milan ke arah permainan cepat dan vertikal. Sejak datang dari Chelsea, pemain asal Amerika Serikat itu menambah dimensi berbeda di sisi kanan. Dribbling cepat, penetrasi tajam, dan koneksi apik dengan Giroud serta Rafael Leão menjadikannya sumber kreativitas utama tim.
Namun, cedera hamstring yang dialaminya saat laga melawan Lazio membuat Milan kehilangan daya ledak di sektor sayap. Tanpa Pulisic, Pioli mencoba memainkan Noah Okafor dan Chukwueze, namun keduanya belum mampu memberikan konsistensi serupa.
Dalam tiga laga terakhir tanpa Pulisic, jumlah tembakan tepat sasaran Milan menurun 27%, sementara crossing sukses dari sektor kanan turun hingga 35%. Ini bukan sekadar angka, tapi bukti konkret bahwa serangan Rossoneri kehilangan arah tanpa pemain yang mampu mengancam dari sisi lebar.
Absennya Pulisic juga berdampak pada Leão di sisi kiri. Tanpa ancaman dari sisi seberang, lawan lebih mudah memfokuskan pertahanan mereka untuk menghentikan Leão. Hasilnya? Milan menjadi lebih mudah dipatahkan dan sering terjebak dalam pola serangan satu dimensi.
Efek Domino di Ruang Ganti dan Mentalitas Tim
Kehilangan dua pemain penting tidak hanya berdampak secara taktik, tetapi juga psikologis. Stefano Pioli tampak kesulitan menjaga kepercayaan diri skuad muda Milan. Dalam laga melawan Roma dan Fiorentina, terlihat betapa tim kehilangan arah begitu tertinggal. Intensitas pressing menurun, koordinasi di lini tengah kacau, dan komunikasi antarlini melemah.
Rabiot dikenal sebagai sosok pemimpin tenang di ruang ganti. Meskipun baru bergabung, karismanya membantu menjaga disiplin tim. Sementara Pulisic sering menjadi motivator di lapangan — ekspresinya setelah mencetak gol atau memberikan assist menular ke seluruh tim. Ketika dua figur ini tidak hadir, semangat tim menurun signifikan.
Pioli di Persimpangan: Rotasi, Krisis, atau Kesempatan?
Beban kini ada di pundak Stefano Pioli. Ia harus menemukan formula baru untuk menjaga keseimbangan permainan Milan. Salah satu opsi yang sedang diuji adalah menurunkan Yunus Musah lebih dalam sebagai penghubung antarlini, sementara Okafor dimainkan sebagai inverted winger agar mampu memberi ruang bagi Theo Hernández untuk overlap lebih sering.
Namun, eksperimen ini belum sepenuhnya berjalan mulus. Tanpa Rabiot, kontrol tempo sulit dijaga. Tanpa Pulisic, pressing dari sayap tak lagi sinkron. Milan kini berada dalam fase mencari identitas baru — situasi yang mengingatkan pada masa-masa transisi setelah kepergian Kessie dan Calhanoglu beberapa musim lalu.
Meski begitu, Pioli dikenal sebagai pelatih yang adaptif. Dalam beberapa wawancara, ia menegaskan bahwa absennya pemain kunci bukan alasan untuk menyerah, melainkan peluang bagi pemain muda untuk tampil. Nama-nama seperti Luka Romero, Bartesaghi, dan Zeroli disebut-sebut akan mendapat menit bermain lebih banyak.
Tantangan Milan di Tengah Padatnya Jadwal
Selain kompetisi domestik, Milan juga harus menghadapi padatnya jadwal di Liga Champions. Tanpa Rabiot dan Pulisic, kedalaman skuad menjadi masalah nyata. Setiap rotasi terasa menurunkan kualitas permainan secara signifikan. Dalam laga melawan klub-klub besar Eropa, absennya dua pemain ini bisa menjadi perbedaan antara kemenangan dan kekalahan.
Menurut laporan dari Gazzetta dello Sport, tim medis Milan memperkirakan Rabiot baru akan pulih sepenuhnya dalam tiga minggu, sementara Pulisic kemungkinan absen hingga satu bulan. Itu berarti keduanya akan melewatkan laga penting melawan Napoli, Inter, dan Atalanta — tiga pertandingan yang berpotensi menentukan posisi Milan di papan atas klasemen.
Kesimpulan: Rossoneri Harus Bertahan dalam Fase Rawan
Kehilangan Adrien Rabiot dan Christian Pulisic secara bersamaan adalah ujian besar bagi AC Milan. Kombinasi absennya kontrol di lini tengah dan daya gedor di sayap membuat tim kehilangan keseimbangan taktik dan mental. Namun, fase seperti ini juga bisa menjadi momen bagi skuad muda Milan untuk menunjukkan karakter sejati Rossoneri: tidak menyerah, apa pun keadaannya.
Sejarah mencatat, Milan selalu bangkit dari keterpurukan dengan menemukan solusi dari dalam. Jika Pioli mampu menstabilkan permainan melalui rotasi efektif dan manajemen emosi yang tepat, Milan masih bisa menjaga asa bersaing di puncak Serie A dan tetap kompetitif di Eropa.
