
Musim 2025/26 menjadi panggung menarik bagi pemain Italia di Inggris. Beberapa nama datang membawa reputasi besar dari Serie A ke Premier League dengan harapan bisa bersinar di level tertinggi. Namun, kenyataannya tidak semua berjalan mulus. Dua sosok paling disorot saat ini adalah Riccardo Calafiori dan Federico Chiesa — keduanya sama-sama membawa bendera Italia, tetapi menapaki perjalanan yang sangat berbeda di tanah Inggris. Cerita dua sisi pemain Italia di Inggris kini menjadi cermin tentang bagaimana adaptasi, kepercayaan pelatih, dan kondisi klub dapat membentuk dua kisah kontras dalam satu negeri sepak bola yang sama.
Riccardo Calafiori: Dari Bologna ke Panggung Premier League
Riccardo Calafiori menjadi salah satu pemain muda Italia paling bersinar setelah performa impresifnya di Euro 2024 bersama Gli Azzurri. Bek serba bisa ini akhirnya memutuskan untuk melangkah ke Premier League pada musim panas 2025, bergabung dengan Arsenal. Keputusan tersebut sempat diragukan banyak pihak, mengingat kerasnya persaingan di Inggris. Namun hasilnya, Calafiori justru menjelma menjadi sosok sentral di lini belakang The Gunners.
Berkat kemampuan membaca permainan dan distribusi bola yang tenang, Calafiori langsung mendapatkan kepercayaan penuh dari pelatih Mikel Arteta. Ia tangguh dalam bertahan dan juga mampu membangun serangan dari belakang. Kemampuan ini sangat dihargai dalam sistem permainan modern.
Dalam beberapa laga awal musim, Calafiori bahkan dinobatkan sebagai Man of the Match. Ia memperlihatkan kedewasaan dan ketenangan di usia yang masih muda.
Banyak pemain asing butuh waktu untuk beradaptasi di Premier League. Namun, Calafiori tampak berbeda. Ia mampu menyesuaikan diri dengan ritme cepat dan intensitas tinggi liga ini. Kombinasi antara kecerdasan taktik ala Italia dan pressing agresif khas Inggris membuatnya menjadi bek modern ideal.
Peran Calafiori di Arsenal bukan hanya sebagai bek kiri atau bek tengah. Ia juga berperan sebagai “deep-lying playmaker” yang mampu mengatur tempo dari belakang. Statistik menunjukkan bahwa dalam enam laga pertama musim ini, ia mencatatkan akurasi passing di atas 90% serta rata-rata intersep 3,2 per pertandingan. Catatan ini luar biasa untuk pemain baru di Premier League.
Kehadirannya membantu Arsenal menjaga konsistensi di papan atas klasemen. Hal ini juga memperkuat ambisi mereka merebut gelar Premier League yang sudah lama dinantikan.
Federico Chiesa: Dari Harapan Besar ke Kursi Cadangan
Berbeda dengan Calafiori, Federico Chiesa menghadapi kenyataan pahit di Inggris. Setelah pindah dari Juventus ke Liverpool, Chiesa diharapkan menjadi tambahan daya ledak di lini serang The Reds. Namun sejauh ini, kariernya di Anfield belum berjalan sesuai harapan.
Cedera ringan di awal musim membuatnya kehilangan momentum. Persaingan ketat di sektor sayap — bersama Luis Díaz, Mohamed Salah, dan Diogo Jota — membuatnya sering hanya menjadi penghuni bangku cadangan.
Publik Inggris awalnya menantikan gebrakan pemain berusia 27 tahun itu. Kini, banyak yang mulai mempertanyakan apakah Chiesa mampu menyesuaikan diri dengan gaya bermain cepat dan intens ala Premier League.
Chiesa dan Tantangan Adaptasi di Liverpool
Perbedaan gaya bermain tampak menjadi faktor utama kesulitan Chiesa. Di Serie A, ia terbiasa memiliki ruang dan waktu lebih untuk melakukan penetrasi, sementara di Premier League, pressing lawan jauh lebih agresif. Selain itu, sistem taktik Arne Slot di Liverpool yang menuntut rotasi posisi cepat membuat Chiesa sering tampak bingung dalam mengambil keputusan di lapangan.
Meski begitu, kualitas Chiesa tidak perlu diragukan. Kecepatan, teknik tinggi, dan kemampuan mencetak golnya tetap menjadi aset berharga bagi Liverpool. Hanya saja, tanpa menit bermain reguler, sulit baginya untuk menunjukkan potensi terbaik. Banyak pengamat menilai, jika kondisinya terus seperti ini hingga pertengahan musim, bukan mustahil Chiesa akan dipinjamkan ke klub lain untuk mencari waktu bermain lebih banyak.
Dua Cerita, Satu Pelajaran: Mentalitas dan Adaptasi
Kisah Calafiori dan Chiesa di Premier League menjadi pengingat bahwa talenta besar saja tidak cukup untuk sukses di Inggris. Liga ini menuntut mental baja, stamina tinggi, dan kemampuan beradaptasi cepat terhadap kultur serta gaya permainan lokal.
Calafiori mampu menjawab tantangan itu dengan penampilan matang dan mental kuat, sementara Chiesa masih berjuang menemukan ritme dan kepercayaan diri. Dalam konteks tim nasional Italia, situasi ini juga menjadi perhatian pelatih Luciano Spalletti, yang terus memantau performa keduanya menjelang kualifikasi Piala Dunia 2026.
Calafiori Sebagai Simbol Generasi Baru Italia
Apa yang dilakukan Calafiori di Arsenal menunjukkan wajah baru sepak bola Italia: pemain muda yang tidak takut keluar dari zona nyaman Serie A. Ia mewakili generasi yang siap menantang dominasi pemain Eropa lainnya di Premier League. Jika performanya terus meningkat, bukan tidak mungkin Calafiori akan menjadi salah satu bek terbaik di Inggris — bahkan mungkin di Eropa.
Pujian dari legenda Arsenal seperti Martin Keown dan mantan bek Italia Giorgio Chiellini menjadi bukti bahwa dunia sepak bola mulai memperhatikan perkembangan sang bek muda. Arsenal pun tampak menemukan sosok pemimpin masa depan di lini belakang mereka.
Chiesa Harus Bangkit atau Hilang dari Sorotan
Di sisi lain, Chiesa kini berada di persimpangan karier. Apakah ia akan bertahan dan berjuang merebut tempat utama di Liverpool, atau memilih langkah baru demi menyelamatkan kariernya? Banyak yang menyarankan agar ia mencontoh Jorginho atau Zola, dua pemain Italia yang sukses di Inggris karena mau beradaptasi secara total terhadap sistem dan budaya klub.
Jika Chiesa gagal memanfaatkan kesempatan yang ada, kariernya bisa meredup lebih cepat dari yang diperkirakan. Terlebih, publik Inggris dikenal keras dalam menilai pemain yang tidak segera memberi dampak nyata.
Kesimpulan: Dua Takdir di Negeri yang Sama
Perjalanan Riccardo Calafiori dan Federico Chiesa di Premier League mencerminkan dua sisi berbeda dari kisah pemain Italia di Inggris. Yang satu menanjak cepat menjadi bintang baru, yang lain justru berjuang keras agar tak tenggelam dalam persaingan.
Sepak bola memang selalu menyajikan cerita kontras: keberhasilan dan kegagalan, harapan dan kenyataan. Namun satu hal pasti, kedua pemain ini masih memiliki waktu untuk menulis ulang babak baru dalam karier mereka. Bagi Italia, keduanya tetap menjadi aset penting—hanya berbeda jalan menuju puncak.